Laman

Selasa, 13 Maret 2012

REVIEW RTRWP JAWA BARAT

TENTANG
REVIEW RTRWP JAWA BARAT
OLEH KELOMPOK 6 :
ANJAR PRAYOGI                                    21040111060003
FITRI KHAIRANI SIREGAR                   21040111060022
LILIANA ARIESTA K                               21040111060048
AMALIA SITA AGUSTIN                       21040111060049
ADHISTY NIKITA P.                                21040111060050
FAJAR SURYO                                         21040111060066
GLORIA PUTRI P                                     21040111060071
RESTYAN NUR IKHSAN                        21040111060074


JURUSAN PERENCANAAN WIL. & KOTA
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2011/2012
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Perencanaan Tata Ruang adalah Metode - metode yang digunakan oleh sektor publik untuk mengatur penyebaran penduduk dan aktivitas dalam ruang dengan skala yang bervariasi.
Sebagai salah satu proses kegiatan penataan ruang, penyusunan, rencana tata ruang kawasan perkotaan perlu diselenggarakan sebagai bagian yang tidak dapat dipisahkan dari rencana tata ruang wilayah.
Ruang dilihat sebagai wadah keseluruhan interaksi sistem sosial (manusia dengan seluruh kegiatan sosial , ekonomi dan budaya) dengan ekosistem (sumber daya alam dan sumber daya buatan). Interaksi ini tidak selalu berlangsung seimbang dan saling menguntungkan berbagai pihak karena adanya perbedaaan kemampuan, kepentingan dan adanya perkembangan ekonomi yang akumulatif.
Penataan didasari oleh pemahaman potensi dan keterbatasan alam, perkembangan kegiatan sosial ekonomi yang ada, serta tuntutan kebutuhan saat ini dan kelestarian lingkungan hidup di masa yang akan datang. Upaya pemanfaatan ruang dan pengelolaan lingkungan yang dituangkan dalam suatu kesatuan rencana tata ruang.  

1.2.Tujuan
Dari makalah ini akan memberikan suatu rujukan teknis dan pengaturan wilayah mengenai  Rencana Tata Ruang Wilayah Jawa Barat yang sesuai dengan Undang-Undang no 26 tahun 2oo7 tentang Penataan Ruang dari  berbagai aspek materi tinjauan,  yaitu:
1.  Rancangan Tata Ruang Wilayah dalam pembangunan dari berbagai aspek;
2.  Produk yang dihasilkan dalam pembangunan wilayah Jawa Barat; dan
3.  Kendala dalam pembangunan dalam berbagai aspek.

1.3.Ruang Lingkup Materi
Materi  yang diatur dalam peninjauan  kembali RTRW provinsi meliputi :
a)    Kriteria  untuk menentukan bahwa RTRW provinsi perlu ditinjau kembali.
b)   Kriteria  untuk menentukan tipologi peninjauan kembali RTRW provinsi.
c)    Kajian terhadap kinerja dan kemampuan RTRW propinsi dalam mengakomodasi prubahan kebijakan, tujuan / sasaran pembangunan, dinamika perkembangan dan sebagai alat perencanaan.
d)   Analisis hubungan faktor – faktor eksternal dengan kebijaksanaan pembangunan serta struktur pemanfaatan ruang.
e)    Tipologi dan tata ruang peninjauan kembali RTRW provinsi.
f)    Tata cara pengesahan rencana yang telah diperbaiki.

DASAR TEORI

2.1. Batasan Istilah
Dalam pembuatan makalah ini menggunakan istilah-istilah yang sudah dimengerti oleh masyarakat banyak, adapun tujuan dari penggunaan istilah-istilah tersebut yaitu untuk memudahkan pembaca dalam membaca makalah ini.

2.2. Sudut Pandang Pendekatan
Sudut pandang yang kami gunakan dalam pembuatan makalah ini yaitu sudut pandang secara ekonomi dan wilayah yaitu produk perencanaan tata ruang wilayah dari berbagai aspek ekonomi dan sebagainya asing.

2.3. Kerangka Berpikir
Dalam pembuatan makalah ini kami menggunakan pola paragraf dari umum ke khusus, dengan alasan agar pembaca merasa bingung dalam membaca karena dalam membaca dimulai dari hal-hal yang ringan dulu baru meningkat ke hal-hal yang lebih kompleks.

2.4. Literatur Pembuatan Laporan RTRW Jawa Barat
       Dalam perwujudannya, pemerintah Provinsi Jawa Barat harus memiliki pedoman yang kuat dengan peraturan daerah yang menjelaskan tentang rencana tat ruang wilayah. Literatur yang digunakan dalam pembuatan laporan RTRW Provinsi Jawa Barat ini meliputi :
a)      Lampiran Laporan Revisi RTRW Provisi Jawa Barat (2009-2029).
b)      Undang-Undang No.26 Tahun 2007 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah.
c)      Perda No. 20 Tahun 2010 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah.


GAMBARAN WILAYAH

Provinsi Jawa Barat, secara geografis, terletak pada 5050’-7050’ Lintang Selatan dan 104048’-108048’ Bujur Timur, dengan batas-batas wilayah sebagai berikut:
- Sebelah utara, berbatasan dengan Laut Jawa dan DKI Jakarta
- Sebelah Timur, berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah
- Sebelah selatan, berbatasan dengan Samudra Indonesia
- Sebelah Barat, beratasan dengan Provinsi Banten
Luas wilayah Jawa Barat meliputi daratan seluas 3.584.644,92 hektar dan garispantai sepanjang 724,85 km. Daratan tersebut dapat dibedakan atas wilayah pegunungan curam (9,5% dari total luas wilayah) yang terletak di bagian Selatan denganketinggian lebih dari 1.500 m di atas permukaan laut, wilayah lereng bukit yang landai (36,48%) yang terletak di bagian Tengah dengan ketinggian 10-1.500 m dpl., dan wilayah daratan landai (54,03%) yang terletak di bagian Utara dengan ketinggian 0-10 m dpl. Jawa Barat memiliki iklim tropis dengan suhu rata-rata berkisar antara 17,40-30,70C dan kelembaban udara 73-84%.
Pada tahun 2010, Provinsi Jawa Barat secara administratif terdiri dari 17 kabupaten dan 9 kota, yaitu: Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Garut, Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Ciamis, Kabupaten Kuningan, Kabupaten Cirebon, Kabupaten Majalengka, Kabupaten Sumedang, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Subang, Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Karawang, Kabupaten Bekasi, serta Kota Bogor, Kota Sukabumi, Kota Bandung, Kota Cirebon, Kota Bekasi, Kota Depok, Kota Cimahi, Kota Tasikmalaya dan Kota Banjar. Jawa Barat dialiri oleh 40 Daerah Aliran Sungai (DAS) dengan luas wilayah DAS sebesar 32.074,40 km2, 3.502 sungai dan lima wilayah aliran sungai dengan wilayah sungai yang menjadi kewenangan provinsi sebanyak dua buah, yaitu: wilayah Ciwulan-Cilaki dan Cisadea-Cibareno. Jawa Barat juga memiliki 663 waduk, 20 situ, dan 23 embung, dengan potensi air permukaan maksimum pada tahun 2009 sebesar 44.712,91 juta m3. Air permukaan tersebut dimanfaatkan untuk kebutuhan air minum, industri pertanian, dan lain-lain. Pemanfaatan air ini mengalami peningkatan sebesar 20,75% selama kurun waktu 2006-2009 yang disebabkan adanya peningkatan jumlah perusahaan yang aktif memanfaatkan air permukaan dari 625 perusahaan menjadi 650 perusahaan pada tahun 2009.
Jawa Barat merupakan wilayah dengan kejadian bencana cukup besar mulai dari bencana geologi, vulkanologi, klimatologi, lingkungan, dan lain-laina. Akibatnya, penggunaan ruang Jawa Barat yang cenderung semakin intensif menjadikan kondisi fisik  kawasan terbangun dan kawasan budidaya semakin rentan terhadap bencana. Wilayah-wilayah kabupaten yang merupakan rawan bencana terutama di wilayah Jawa Barat bagian Selatan dan Tengah, seperti: Sukabumi, Cianjur, Garut, Tasikmalaya, Ciamis, Bogor, Bandung dan Kuningan. Selain kondisi fisik yang rentan, struktur bangunan rumah, gedung, maupun infrastruktur juga memperparah keadaan karena cenderung tidak tahan gempa dan tidak tahan gerakan tanah, serta konstruksinya tidak ramah banjir.

Jumlah penduduk Provinsi Jawa Barat, berdasarkan hasil Sensus Penduduk tahun 2010 (SP 2010), mencapai 43.021.826 jiwa yang terdiri dari 21.876.576 orang laki-laki dan 21.145.254 orang perempuan. Berdasarkan kelompok umur, masih membentuk piramida dengan kelompok usia anak dan usia produktif yang besar. Selanjutnya, berdasarkan struktur lapangan pekerjaan, penduduk Jawa Barat didominasi penduduk bekerja di sektor pertanian, perdagangan, jasa dan industri.
Selama sepuluh tahun terakhir ini (2000-2010), laju pertumbuhan penduduk rata-rata Jawa Barat sebesar 1,89% dengan tingkat kepadatan rata-rata penduduk 1.157 orang per km2. Peningkatan jumlah penduduk terutama disebabkan adanya pertumbuhan alami dan faktor migrasi netto yang positif, yang berarti bahwa migran masuk (in migration) ke Jawa Barat lebih besar dibandingkan yang keluar Jawa Barat.

Gambar 1. Peta Provinsi Jawa Barat


Gambar 1.2 Peta Rencana Pola Ruang Provinsi Jabar


PEMBAHASAN

                   Perekonomian Jawa Barat berdasarkan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga konstan, menunjukkan bahwa sampai dengan triwulan III tahun 2010 mengalami pertumbuhan sebesar 2,66%, atau meningkat dibandingkan triwulan sebelumnya dengan pertumbuhan sebesar 1,44%. Sementara itu jika dilihat dari laju pertumbuhan ekonomi secara year on year (dibandingkan dengan triwulan III tahun 2009), kinerja perekonomian Jawa Barat mampu tumbuh sebesar 4,02%.

                   Pertumbuhan ekonomi Jawa Barat sampai dengan akhir tahun 2010 diperkirakan akan semakin menguat. Setelah tumbuh melambat pada laju 4,0% (yoy) pada triwulan III-2010, pertumbuhan ekonomi pada triwulan IV-2010 diperkirakan akan mengalami peningkatan, yang berada pada kisaran 6-6,5%. Dengan demikian, secara keseluruhan perekonomian Jawa Barat untuk tahun 2010 diperkirakan akan mencapai 6,0%. Sementara itu, perkembangan inflasi secara tahunan (yoy) sampai dengan periode Oktober 2010 mencapai 5,35%, lebih rendah dari inflasi nasional sebesar 5,67%. Seluruh kelompok barang/jasa yang dihitung perkembangan harganya menunjukkan terjadinya inflasi. Inflasi yang tinggi terjadi pada kelompok bahan makanan, kelompok makanan jadi/minuman, dan kelompok sandang,masing-masing sebesar 10.65%, 6.32%, dan 6.28%. Sementara empat kelompok barang/jasa mengalami inflasi yang relatif rendah, yaitu: kelompok perumahan (3.17%), kelompok kesehatan (2,27%), kelompok pendidikan (1,86%), dan kelompok transport (1,45%). Ditinjau secara tahunan, seluruh kota di Jawa Barat yang dihitung perkembangan harganya mengalami inflasi.

Seperti yang dijelaskan dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2010 pada bab 1 ayat 41-43 tentang Pengembangan Kawasan Strategis, sebagai berikut :
41. Pusat  Kegiatan Nasional  yang  selanjutnya  disebut  PKN  adalah kawasan  perkotaan  yang  berfungsi  untuk  melayani  kegiatan skala internasional, nasional, atau beberapa provinsi.
42. Pusat  Kegiatan  Nasional-Provinsi  yang  selanjutnya  disebut PKNP adalah kawasan perkotaan yang berpotensi pada bidang tertentu  dan  memiliki  pelayanan  skala  internasional,  nasional atau beberapa provinsi.
43. Pusat  Kegiatan Wilayah  yang  selanjutnya  disebut  PKW  adalah kawasan  perkotaan  yang  berfungsi  untuk  melayani  kegiatan skala provinsi atau beberapa kabupaten/kota.
Oleh karena itu, Pemerintah Jawa Barat melakukan revitalisasi diberbagai kawasan untuk menunjang pemerataan di berbagai kawasan antara lain :
-                   Revitalisasi Kota-kota di kawasan perkotaan Bandung Raya yang telah berfungsi sebagai Pusat Pertumbuhan Nasional (PKN).
-                   Pengembangan/peningkatan fungsi Kota Cirebon sebagai Pusat Pertumbuhan Nasional (PKN).
-                   Pengembangan/peningkatan fungsi Kota Sukabumi, Cikampek – Cikopo – Indramayu dan Tasikmalaya sebagai Pusat Pertumbuhan Nasional (PKW).
-                   Pengembangan Kota Pelabuhan Ratu, Kadipaten dan Pangandaran sebagai Pusat Pertumbuhan Baru (PKN).

Gambar 1.3 Peta Rencana Kawasan Strategis

       Provinsi Jawa Barat kenyataan bahwa jumlah jalan yang tidak sebanding dengan jumlah kendaraan, merupakan tugas dari pihak pembuat jalan. Semua dinas sudah punya tugas masing-masing. Tugas Dispenda hanya menggali pendapatan dari sektor pajak sebesar mungkin.
Berdasarkan data Dispenda Jabar Juni 2010, jumlah kendaraan di Jawa Barat sampai Juni 2010 adalah 8.741.498 buah dan luas jalan provinsi (Data Dinas Bina Marga Jabar), 2.199,18 kilometer. Luas wilayah Jabar adalah 44.170 km persegi. Berdasarkan data ini, dapat dihitung antara luas jalan provinsi dan luas wilayah Jabar, yang besarannya adalah 0,05. Dengan demikian, luas jalan provinsi hanya sekitar lima persen dari total luas wilayah Jabar.
            Sehubungan dengan pembenahan infrastruktur, Pemerintah Jawa Barat dalam hal ini menitik beratkan pada sarana dan prasarana, diantaranya :
a)      Pemantapan Jaringan Jalan Bebas Hambatan
Dalam Kota:
- Padalarang - Cileunyi
- Palimanan – Cirebon/Kanci
Antar Kota:
- Jakarta – Bogor – Ciawi (Jagorawi)
- Jakarta – Cikampek
- Cikampek – Padalarang
- Padalarang – Cileunyi
b)      Pengembangan Jaringan Jalan Bebas Hambatan
Dalam Kota: 
- Depok - Antasari
- Bogor Ring Road
- Terusan Pasteur – Ujung Berung - Cileunyi
- Ujung Berung – Gedebage - Majalaya
- Soreang – Pasir Koja
Antar Kota : 
- Cilegon – Bojonegara
- Ciawi – Sukabumi
- Sukabumi – Ciranjang
- Ciranjang – Padalarang
- Cileunyi – Sumedang – Dawuan
- Cikopo – Palimanan
- Kanci – Pejagan
c)      Pengembangan Kawasan Andalan Sektor Pariwisata untuk Kawasan Bogor – Puncak – Cianjur dan Sekitarnya dan Kawasan Sukabumi dan Sekitarnya.
d)     Pengendalian Kawasan Andalan untuk Sektor Pertanaian Pangan Abadi dan Pengembangan Kawasan Andalan untuk Industri Pengolahan (Kaw. Purwakarta, Subang, Kerawang (Purwasuka).
e)      Rehabilitasi Kawasan Andalan untuk Industri Pengolahan dan Pengembangan Kawasan Andalan untuk Pariwisata (Kawasan Cekungan Bandung).
f)       Pengembangan Kawasan Andalan untuk Pertambangan dan Perikanan (Kawasan Cirebon-Indramayu-Majalengka-Kuningan (Ciayumaja Kuning) dan Sekitarnya).
g)      Rehabilitasi/Revitalisasi Kawasan Strategis Nasional dari Sudut Kepentingan Ekonomi (Kaw.


Perkotaan Cekungan Bandung).

Gambar 1.4 Peta Rencana Infrastruktur Wilayah







Dinas Permukiman dan Perumahan Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu unsur Organisasi Pemerintah Daerah (OPD) Provinsi Jawa Barat yang mempunyai Tugas pokok melaksanakan urusan pemerintahan daerah bidang permukiman dan perumahan berdasarkan asas otonomi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan, serta kebijakan teknis urusan bidang permukiman dan perumahan ang meliputi tata ruang kawasan, permukiman, perumahan, dan jasa konstruksi.

NO
TUJUAN
SASARAN
 1.








2.






  

3.





4.





5.
 Bidang Tata Ruang :
Terlaksananya penataan ruang yang berkelanjutan






 Bidang Permukiman :
Meningkatnya akses masyarakat terhadap
Akses prasarana dan sarana dasar permukiman (mencakup persampahan, air bersih, air limbah).





Bidang Perumahan :
Meningkatnya pemenuhan perumahan yang mandiri dan produktif.



Bidang Jasa Konstruksi :
Terwujudnya keamanan & keserasian dalam pembangunanpermukiman&perumahan melaluipembinaan penyelenggaraan jasa konstruksi.


Bagian Kesekretariatan :
Mengoptimalkan dukungan terhadap Dinas Permukiman dan Perumahan dengan mengembangkan birokrasi yang semakin profesional dan akuntabel.




 1.     Terselenggaranya penataan ruang kawasan strategis berbasis daya dukung lingkungan dan potensi lokal            
2.     Terselenggaranya penataan ruang dan pengelolaan perkotaan dan perdesaan yang memenuhi standar dan terintegrasi
3.     Terselenggaranya tertib penataan ruang melalui penguatan perangkat dan pelaksanaan pengendalian dan pengawasan penataan ruang


 1.     Meningkatkan cakupan pelayanan persampahan dan sistem pengelolaan persampahan regional
2.     Meningkatkan cakupan pelayanan air minum di perkotaan dan perdesaan
3.     Meningkatkan cakupan pelayanan air limbah domestik dan non domestik
4.     Meningkatkan sistem drainase regional
5.     Meningkatkan penataan bangunan dan lingkungan yang berbasis mitigasi bencana dan kearifan lokal

1.     Meningkatnya ketersediaan rumah bagi masyarakat khususnya MBR
2.     Meningkatnya akses masyarakat terhadap perumahan
3.     Meningkatnya kualitas lingkungan perumahan

1.     Terlaksananya pembinaan teknis terhadap penyedia dan pengguna jasa konstruksi
2.     Terkendalinya penyelenggaraan jasa konstruksi
3.     Terselenggaranya pembangunan konstruksi yang berkualitas dan berwawasan lingkungan

 1.     Meningkatnya kinerja dan disiplin aparatur yang berbasis kompetensi
2.     Terwujudnya kelembagaan & ketatalaksanaan pemerintah daerah serta pengelolaan keuangan daerah yang akuntabel dan berbasis teknologi informasi
3.     Meningkatnya pelayanan publik yang dapat diakses dengan mudah dan cepat oleh seluruh lapisan masyarakat
4.     Meningkatnya akses dan kualitas pelayanan pengelolaan gedung/rumah negara.

Sebagai sebuah sistem, keterkaitan antar komponen penyusun sistem tentu sangat erat. Keberlanjutan masyarakat pesisir sangat terpengaruh oleh ketersediaan sumberdaya alam dan daya dukung lingkungan pesisir, sedangkan keberlanjutan sumberdaya alam akan tergantung seberapa efektif sistem pengelolaan dapat dilakukan oleh masyarakat pesisir. Oleh karena itu, disain kebijakan pembangunan wilayah pesisir seyogianya memperhatikan segenap komponen penyusun sistem wilayah pesisir. Kebijakan pembangunan wilayah pesisir dan laut secara optimal dan berkelanjutan seyogianya dirancang berdasarkan kebutuhan solutif dari ketiga komponen sistem wilayah pesisir, yaitu: aspek sistem sumberdaya alam; aspek sistem sumberdaya manusia; aspek spatial dan aspek sistem manajemen.

4.5.1. Kebijakan Pengelolaan Abrasi dan Akresi

Solusi bagi penanggulangan abrasi adalah revegetasi tanaman pantai di sepanjang pantai. Mangrove adalah pilihan tanaman yang paling cocok berfungsi sebagai penahan abrasi. Selanjutnya kawasan penanaman mangrove ini dijadikan sebagai sabuk hijau dan dimasukkan dalam kawasan konservasi pada dokumen tata ruang. Sedangkan secara teknik, pencegah abrasi adalah melalui pembuatan tanggul pantai (sea wall), groin (groyne) dan penambahan gelombang. Aplikasi teknik bangunan pantai untuk pencegah abrasi harus memperhatikan karakteristik oseanografi di wilayah kajian. Pendekatan yang perlu dilakukan unutk memonitor proses dinamis perubahan pantai menurut Cooke dan Doomkamp (1990) dikelompokkan berdasarkan penggunaan bukti sedimentasi atau erosi yang berhubungan dengan bangunan penghalang pantai. Adapun parameter oseanografi yang perlu diukur melalui pendekatan perhitungan sedimen meliputi:
1.         Estimasi energi gelombang
2.         Pemantauan partikel terlarut
3.         Penggunaan perangkap sedimen (sediment trap)
4.         Pengukuran arah dan kecepatan pengangkutan partikel sedimen.

4.5.2.      Kebijakan Pengolahan Mangrove
Berdasarkan karakteristik lokasi dan analisis masalah disuatu kawasan ekosistem hutan mangrove serta kaitannya dengan dengan fungsi kawasan, maka pengelolaan dan pengembangan kawasan ekosistem hutan mangrove dimaksud, termasuk untuk kegiatan mina hutan (sylvofishery), perlu didasarkan atas azas kelestarian, manfaat dan keterpaduan dengan tujuan:
1.    Menjamin keberadaan ekosistem hutan mangrove dengan luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional
2.    Mengoptimalkan aneka fungsi kawasan tersebut, termasuk fungsi konservasi, fungsi lindung dan fungsi produksi untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial dan ekonomi yang seimbang secara berkelanjutan
3.    Meningkatan daya dukung kawasan, serta
4.    Mendukung pengembangan kapasitas dan keberdayaan masyarakat secara partisipatif, berkeadilan dan berwawasan lingkungan sehingga menciptakan ketahanan sosial ekonomi.

4.5.3.      Kebijakan Pengolahan Reboisasi Hutan
Adanya sifat open acces pada kawasan ekosistem hutan mangrove maka diperlukan upaya penataan zona di kawasan. Upaya tersebut dimaksudkan sebagai upaya meminimalkan kerusakan dan melestarikan fungsi ekologis dan ekonomis kawasan. Penataan zona disini adalah pembagaian kawasan ekosistem hutan mangrove menjadi zona pemanfaatan dan zona perlindungan atau konservasi.
Reboisasi diperlukan untuk kawasan ekosistem hutan mangrove yang sudah terlanjur digunakan untuk usaha perikanan tetapi dengan proporsi yang tidak seimbang yaitu 80% tambak dan 20% hutan menjadi sebaliknya dan kawasan mangrove yang terkena abrasi.

4.5.4.      Pengembangan Mina Hutan
Perlu adanya zonasi dikawasan ekosistem hutan mangrove salah satunya adalah zona pemanfaatan. Zona pemanfaatan dalam hal ini diperuntukan bagi kegiatan mina hutan (sylvofishery). Penerapan mina hutan dikawasan ekosistem hutan mangrove diharapkan dapat tetap memberikan lapangan kerja bagi petani disekitar kawasan tanpa merusak hutan itu sendiri dan adanya pemerataan luas lahan bagi masyarakat. Harapan ini dapat terwujud dengan catatan tidak ada pemilik modal yang menguasai lahan secara berlebihan. Untuk mengantisipasi hal tersebut, harus ada ikatan perjanjian antara pengelola tambak dan Dinas Kehutanan, yang antara lain berisi kewajiban bagi pengelola tambak untuk menjaga kelestarian hutan serta sanksi bagi pengelola tambak mengingkari kewajibannya.

Kegiatan budidaya dapat dilaksanakan di lingkungan air payau, air tawar dan air laut. Pemilihan jenis (spesies) tertentu akan berkaitan langsung dengan lingkungan perairan sebagai habitat dari sposies yang dipelihara.
Teknologi yang diterapkan dalam budidaya tambak dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) tingkatan yaitu : pola sederhana, pola madya (semi intensif), pola maju (intensif). Perbedaan ketiga kategori tersebut dibedakan atas dasar padat penebaran benur yang diikuti oleh masukan-masukan lain yang diperlukan untuk mendukung pelaksanaan kegiatan budidaya tersebut.

4.5.6.      Kebijakan Pengelolaan DAS dan Sumber Daya Air

Krisis air menjadi masalah rutin tiap tahun di Indonesia. Sistem pengaturan air, termasuk keterbatasan informasi mengenai status sumber air, distribusi air yang tidak merata, keterbatasan kemampuan lingkungan, kurangnya partisipasi stakeholder dalam kebijakan air, rencana dan manajemen serta keterbatasan pengetahuan, pemahaman dan kesadaran nilai dan keuntungan air, termasuk harga air, hak air dan teknologi manajemen memerlukan penanganan yang komprehensif, sehingga permasalahan sumberdaya air dapat teratasi.
Pengelolaan DAS dan sumberdaya air harus mencakup aspek:
1.                   Fisik meliputi morfologi, hidrologi, dan pola aliran sungai
2.                   Biologi mencakup (ekosistem, vegetasi dan kejadian pencemaran
3.                   Sosial mencakup masyarakat dan segenap aktifitasnya.
            Selanjutnya pengelolaan DAS juga mencakup pengelolaan daerah tangkapan hujan, pengelolaan kuantitas dan kualitas air, pengendalian banjir dan pengelolaan lingkungan sungai.

4.5.7.      Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Ikan

a)      Penurunan Sumberdaya Ikan
            Gejala penurunan sumberdaya ikan di perairan pantai utara Jawa Barat ditunjukkan oleh semakin berkurangnya hasil tangkapan ikan laut dan semakin kecilnya ukuran ikan yang ditangkap. Selain itu masih banyaknya pelanggaran yang dilakukan oleh para nelayan dalam melakukan penangkapan (penggunaan jaring trawl/pukat harimau, penggunaan stroom (electronic fishing), potas, racun) ditengarai menjadi masalah serius yang sangat merugikan bagi keberadaan sumberdaya ikan di perairan ini. Disisi lain, terjadinya pencemaran laut (terutama di perairan dangkal), juga menjadi faktor penyebab lainnya yang mengganggu stabilitas kualitas, kelestarian dan kuantitas sumberdaya ikan.
b)        Biaya Penangkapan Semakin Tinggi dan Daerah Penangkapan Semakin Jauh
Peningkatan harga BBM membuat nelayan semakin kesulitan untuk beroperasi, bahkan tidak sedikit yang menggunakan cara pencampuran bahan bakar dengan minyak tanah. Selain itu, harga mesin/spare part, jaring dan bahan-bahan lainnya juga semakin mahal, sedangkan di satu sisi harga ikan terutama untuk pasaran dalam negeri relatif tetap, sehingga tidak terjangkau oleh daya beli nelayan. Ditambah lagi dengan kenyataan bahwa daerah penangkapan ikan menjadi semakin jauh, akibat adanya penurunan SDI di wilayah perairan pantai utara Jawa Barat dan konsekuensinya biaya operasional menjadi semakin tinggi.
c)        Jumlah Nelayan Sangat Banyak
Salah satu penyebab penurunan hasil tangkapan dan ukuran jenis ikan yang ditangkap adalah terlalu banyaknya alat tangkap dan armada perikanan yang terdapat di wilayah perairan pantai utara Jawa Barat. Hal ini juga berbanding lurus dengan banyaknya jumlah nelayan yang terlibat dalam penangkapan ikan tersebut. Dampaknya adalah semakin rendahnya pendapatan yang dapat diterima oleh nelayan.
d)       Tingkat Pendidikan Nelayan dan Masyarakat Pesisir Lainnya Masih Rendah
       Rata-rata pendidikan nelayan di Provinsi Jawa Barat bagian utara relatif masih rendah. Hal ini disinyalir akibat masih besarnya kecenderungan penduduk usia sekolah yang membantu orang tuanya untuk memperoleh pendapatan tambahan, seperti menjadi nelayan ABK atau profesi lainnya yang dapat menghasilkan uang. Tarikan kebutuhan untuk memperoleh tambahan pendapatan keluarga ini kerap menjadi bumerang terhadap psikologi anak untuk terus menghasilkan uang dan meninggalkan bangku sekolah (putus sekolah).
e)        Tingkat Pendapatan Nelayan Relatif Kecil
Tingkat pendapatan nelayan relatif kecil salah satunya dikarenakan terbatasnya modal usaha. Permodalan petani nelayan masih tergolong rendah (sebagian besar pelaku penangkap ikan merupakan nelayan kecil), sehingga sulit untuk meningkatkan usahanya. Selain itu, pengetahuan, sikap, dan keterampilan nelayan masih rendah, sehingga produktivitas usahanya tergolong masih rendah, dan penguasaan paket teknologi usaha perikanan relatif masih kurang. Selain itu, nelayan masih selalu menjadi penerima harga (price taker), sehingga pendapatan yang diperoleh sangat tergantung kepada para bakul yang cenderung menekan harga serendah mungkin.
4.5.8.      Green Province
Mewujudkan tata ruang wilayah provinsi yang efisien, berkelanjutan, dan berdaya saing menuju Jawa Barat sebagai provinsi termaju di Indonesia 2025, merupakan tujuan penataan ruang Provinsi Jawa Barat. Selain itu, Pemerintah Jawa Barat juga harus menjadikan tata ruang wilayah Jawa Barat ini lebih baik dengan memperhatikan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan, namun tetap dapat berkompetisi. Dalam kurun waktu 10 tahun (1994-2005) telah terjadi pertumbuhan kawasan permukiman hampir sebesar 110%.
Luas kawasan hutan di Provinsi Jawa Barat mengalami penurunan yang signifikan, yaitu hutan primer sebesar 30 % dan hutan sekunder sebesar 26 %. Hampir 18.000 Ha lahan per tahun di Provinsi Jawa Barat dijadikan lahan terbangun. Oleh karena itu pembangunan harus kami atur kembali untuk efisiensi ruang dan untuk keberlanjutan pembangunan itu sendiri. Provinsi Jawa Barat menetapkan diri sebagai Green Province melalui Perda RTRW-nya. Salah satu upaya yang dilakukan adalah penetapan kawasan lindung sebesar 45 %. Dari target 45% kawasan lindung, saat ini baru tercapai 27,5 %. Masih ada 17,5 % lagi yang belum tercapai. Sebagai salah satu upaya untuk memenuhi target 45% kawasan lindung di Provinsi Jawa Barat, Kabupaten Kuningan telah menetapkan diri sebagai kabupaten konservasi.
Penekanan bahwa aktivitas apapun harus dilakukan dengan tetap menjaga daya dukung lingkungan. Kebijakan Green Province juga mengedepankan penggunaan bioenergi, pengalokasian ruang untuk mendukung ketahanan pangan, dan penetapan lahan pertanian berkelanjutan. Selain itu, Pemerintah Provinsi Jawa Barat juga sedang merancang Gerakan Rehabilitasi Lahan Kritis, dimana 70% anggarannya akan dialokasikan untuk revitalisasi wilayah DAS prioritas yang ada di Provinsi Jawa Barat. Insentif dapat diberikan kepada wilayah pengembangan yang porsi kawasan lindungnya lebih besar daripada kawasan budidayanya.

4.6.  Kebijakan Sarana Prasarana
Kebijakan sarana dan prasarana lebih difokuskan kepada ketersediaan fasilitas ekonomi, berupa pasar dan lembaga keuangan, kelembagaan lokal, ketersediaan sarana penginapan dan wisata yang kurang memadai.
Fasilitas perekonomian di wilayah Pantura Jabar masih belum memadai. Koperasi merupakan fasilitas perekonomian terbanyak yang terdapat di wilayah ini. Akan tetapi ketersediaan bank umum dan BPR relatif masih kurang. Fasilitas pariwisata dinilai relatif kurang di wilayah pesisir Pantura Jabar. Tidak semua kecamatan pesisir yang ada di setiap daerah kabupaten/kota di Pantura Jabar memiliki penginapan atau wisma untuk bermalam bagi wisatawan.

4.7. Kebijakan Pemanfaatan Ruang

a. Penataan Ruang di Wilayah Pesisir Tidak Integratif
Proses perencanaan tata ruang pada dasarnya adalah suatu upaya agar interaksi masyarakat dengan lingkungannya dapat berjalan serasi, selaras, seimbang untuk mencapai kesejahteraan masyarakat serta kelestarian lingkungan dan keberlanjutan pembangunan (Sustainable development). Tata ruang berfungsi untuk menjamin keberlanjutan aktivitas pembangunan, melindungi kawasan-kawasan yang secara ekologis vital dari berbagai kegiatan pembangunan yang merusak, serta menjamin keseimbangan ekologis wilayah.
Pengembangan wilayah penataan ruang merupakan instrumen yang digunakan untuk memahami interaksi antara 4 (empat) unsur utama pembentuk ruang (sumberdaya alam, manusia, buatan, dan sistem aktivitas) secara komprehensif. Selain merupakan proses untuk mewujudkan tujuan-tujuan pembangunan, penataan ruang sekaligus juga merupakan produk yang memiliki landasan hukum (legal instrument) untuk mewujudkan tujuan pengembangan wilayah. Undang-undang terbaru yang mengatur penataan ruang adalah UU no 26 tahun 2007 yang telah diundangkan pada tanggal 26 April 2007.
Selanjutnya perencanaan tata ruang harus melihat peluang ekonomi yang dapat dikembangkan baik secara lokal, nasional dan regional. Juga harus memperhatikan upaya pengembangan pusat-pusat kelautan dan perikanan serta market demand yang akan dituju.
b. Kepemilikan Lahan di Wilayah Pesisir Tidak Dimiliki Masyarakat Setempat, Melainkan Sudah Menjadi Milik Pengusaha Besar


  







            diunduh Kamis, 1 Desember.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar